Sejarah Kedudukan Pengacara Advokat sesudah Indonesia Merdeka Bag 2 by Balikpapan Indonesian Lawyer
Article Indonesian Lawyers by Pengacara Balikpapan tentang,
Sambungan dari artikel pengacara balikpapan Tentang sejarah singkat Kedudukan Advokat / pengacara Pra Kemerdekaan
Kedudukan Advokat Pasca Kemerdekaan
Perkembangan pengaturan profesi Advokat di Indonesia dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang. Pemerintah colonial Jepang tidak melakukan perubahan yang berarti mengenai profesi ini. Hal ini terbukti pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie tetapi digunakan istilah KUH Pidana. Undang-Undang ini memuat pengaturan tentang kedudukan Advokat dan procureur dan orang-orang yang memberikan bantuan hukum.
Pengaturan profesi Advokat secara sporadis tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan termasuk didalamnya ketentuan pada masa kolonial Belanda.
Bahkan pengaturan profesi Advokat sejak proklamasi 17 Agustus 1945 justru kurang mendapat perhatian. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya istilah Advokat atau istilah lain yang sepadan dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Demikian pula pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Sementara 1949 yang digantikan dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Memang pada Pasca-kemerdekaan satu-persatu Undang-Undang dibidang peradilan dan kekuasaan kehakiman diberlakukan, lengkap dengan fluktuasinya. Kadang menunjukkan pergerakan positif, kadang justru berbalik arah.
Mulai dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Jalannya Mahkamah Agung Indonesia dalam pasal 42 ayat 1 dan sampai 4, Pasal 48 ayat 2, Pasal 55 ayat 1, Pasal 66 mulai ayat 2 sampai dengan ayat 3 serta Pasal 94 ayat 3 (http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_1950.htm) dan beberapa pasal-pasal selanjutnya dijelaskan peran Pembela, dan mendapatkan bantuan hukum, hingga Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, dalam Undang-Undang ini membenarakan intervensi langsung Preseiden sebagai pemimpin besar revolusi ke dalam jalannya peradilan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 ayat 2 “ Dengan berlandaskan pendapat-pendapat ddalam permusyawaratan itu serta dengan mengindahkan keyakinan dan perasaan hukum untuk mewujudkan terlaksananya fungsi hukum sebagai Pengayoman dengan penuh tanggung –jawab kepada Negara dan Revolusi, sidang musyawarah mengambil putusan. Dilanjutkan dengan pasal yakni :
(1)Dalam hal-hal dimana Presiden melakukan turun tangan, sidang dengan seketika menghentikan pemeriksaan yang sedang dilakukan dan mengumumkan keputusan Presiden dalam sidang terbuka dengan membubuhi catatan dalam berita acara dan melampirkan Keputusan Presiden dalam berkas tanpa menjatuhkan putusan.
(2) Dalam hal-hal dimana presiden menyatakan keinginannya untuk melakukan campur-tangan menurut ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Kekuasaan kehakiman, sidang menghentikan untuk sementara pemereiksaan dan mengadakan musyawarah dengan jaksa.
(3) Musyawarah termaksud dalam ayat (2) tertuju untuk melaksanakan keinginan Presiden.
(4) Keinginan Presiden dan hasil musyawarah diumumkan dalam sidang terbuka setelah sidang dibuka kembali.
Padahal satu tahun sebelumnya, baru diberlakukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang mengintroduksi hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi masyarakat walaupun dengan batasan-batasan tertentu, sebagaimana disebutkan dalam Bab VI mengenai Bantuan Hukum Pada Pasal 26 sampai dengan Pasal 28.
Pasal 26
Hak setiap orang yang mempunyai perkara untuk memperoleh bantuan hukum diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 27
Dengan tidak merugikan kepentingan pemeriksaan dalam perkara pidana penasehat hukum semenjak saat dilakukan penangkapan dan penahanan seseorang dibolehkan menghubungi dan memberi bantuan hukum padanya, dengan tidak menghadiri pemeriksaan permulaan, menurut ketentuan-ketentuan Undang-Undang.
Pasal 28
Dalam pemberian bantuan itu penasehat hukum wajib senantiasa berusaha dalam rangka tujuan peradilan melancarkan penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi Pancasila, Manipol serta pedoman-pedoman pelaksanaannya serta rasa keadilan.
Masa Masyarakat mulai merasakan fungsi Advokat / pengacara
Sementara akibat sengketa hukumnya seringkali harus diselesaikan secara formal lewat mekanisme peradilan, sesungguhnya masyarakat mulai merasakan kebutuhan akan fungsi Advokat.
Kebutuhan ini diindikasikan dengan meluasnya peran pokrol bambo( menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pokrol berarti :
1. Pembela atau wakil orang yang berperkara (dalam Pengadilan), pengacara, advokat.
2. Orang yang pandai (berdebat, berputar lidah dan sebagainya)
Jadi Pokrol Bambu adalah pembela perkara (dalam pengadilan) yang bukan tamatan sekolah tinggi;pokrol yang tidak terdaftar secara resmi.)yang makin terasa akrab dan terjangkau oleh masyarakat.
Pada Prakteknyapun, profesi Advokat di Indonesia terus berkembang. Dibanyak kota besar mulai bermunculan kantor-kantor hukum Advokat profesional, menggantikan Advokat-Advokat Belanda yang semakin berkurang jumlahnya menjelang dan sesudah pembebasan Irian Barat. Berbagai organisasi yang menaungi para Advokat (Balie Van Advocaten adalah perkumpulan sejumlah para Advokat, ini merupakan cikal bakal untuk mendirikan/membentuk PERADIN (Persatuan Advokat Indonesia).
Guna mengisi kekosongan hukum saat itu, akibat tidak kunjung diperjelasnya fungsi Advokat dalam perundang-undangan di bidang peradilan sementara praktek pemberian bantuan hukum secara empiric terus dijalankan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1965 Tentang Pokrol sebagai acuan awal. Pengaturan ini kemudian diikuti oleh berbagai peraturan Mahkamah agung dan Pengadilan-pengadilan Tinggi di bawahnya tentang pendaftaran Advokat dan pengacara.
Memasuki Tahun 1970, sebenarnya ada sebuah titik terang bagi kejelalsan fungsi Advokat, lewat pemberlakuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman, Pemerintah membuka lebih luas pintu bagi Advokat untuk memasuki sistem kekuasaan kehakiman. Selain menjamin hak orang yang berperkara untuk mendapatkan bantuan Hukum , sebagaimana tersebut dalam pasal-pasal tersebut dibawah ini:
Pasal 35
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum
Pasal 36
Dalam perkara pidana seorang tersangka terutama, sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan Penasehat hukum.
Pasal 37
Dalam memberi bantuan hukum tersebut pada pasal 36 diatas, Penasehat Hukum membantu melancarkan penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi Pancasila, hukum dan keadilan.
Pasal 38
Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 35, 36 dan 37 tersebut diatas diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.
Awal munculnya RUU Profesi Advokat / Pengacara
Amanat Undang-Undang itulah yang menjadi dasar dimulainya perjuangan Advokat Indonesia untuk menggolkan Undang-Undang khusus yang mengatur profesinya. Pada Kongres (PERADIN) yang kedua tahun 1969, PERADIN Jawa Tengah mulai memperkenalkan naskah RUU Profesi Advokat.
Tetapi upaya Para Advokat di PERADIN tersebut tidak “sepenuhnya” berhasil. Dikatakan tidak sepenuhnya berhasil karena, walau RUU Profesi Advokat yang muatannya mengusung isu kemandirian dan kejelasan fungsi profesi tidak kunjung diakomodasikan oleh pemerintah dan DPR, naumun lewat pemberlakuan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), sebagian materi bantuan hukum diatur secara cukup komprehensif.
Di dalamnya dimuat antara lain dimuat dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74, yakni berbunyi sebagai berikut :
Pasal 69
Penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkatan pemeriksaan menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 70
(1) Penasehat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkatan pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya.
(2) Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum tersebut menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan tersangka maka sesuai dengan tingkat pemeriksaan, penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan member peringatan kepada penasihat hukum.
(3) Apabila peringatan tersebut tidak diindahkan, maka hubungan tersebut diawasi oleh pejabat yang tersebut pada ayat (2).
(4) Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan, maka hubungan tersebut disaksikan oleh pejabat tersebut pada ayat (2) dan apabila setelah itu tetap dilanggar maka hubungan selanjutnya dilarang.
Pasal 71
(1) Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam berhubungan dengan tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga permasyarakatan tanpa mendengar isi pembicaraan.
(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, pejabat tersebut pada ayat (1) dapat mendengar isi pembicaraan.
Pasal 72
Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya.
Pasal 73
Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dan tersangka setiap kali dikehendaki.
Pasal 74
Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka sebagaimana tersebut pada Pasal 70 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan pasal 71 dilarang, setelah perkara dilimpahkan oleh Penuntut umum kepada pengadilan negeri untuk disidangkan, yang tembusan suratnya disampaikan kepada tersangka atau penasihat hukumnya serta pihak lain dalam proses.
0 Response to "Sejarah Kedudukan Pengacara Advokat sesudah Indonesia Merdeka Bag 2 by Balikpapan Indonesian Lawyer"
Post a Comment